Kamis, 05 April 2012

Berkesinambungan atau continuously mutlak diperlukan dalam agar usaha-usaha yang telah kita rintis memperoleh hasil yang maksimal. Sering kita mendengar orang yang gagal melakukan sesuatu karena tidak adanya kesinambungan atas apa yang ia rintis. Semangat yang menggebu pada awalnya tidak diimbangi dengan kesadaran untuk melanjutkannya. Pada kasus seperti ini orang akan merasa cepat puas pada hasil yang sebenarnya belum seberapa ia raih. yang terjadi hanyalah letupan-letupan sesaat dalam dirinya.

Kejenuhan merupakan faktor yang utama dalam mempertahankan kontinyuitas. Hakikatnya setiap bidang yang kita tekuni, kejenuhan itu lambat laun pasti akan datang. Wajar bila hal itu terjadi sebab kita setiap hari kita bergelut dengan hal yang sama.

Hal-hal yang menyebabkan kejenuhan antara lain:

  1. Tidak adanya variasi-variasi dalam pekerjaannya

  2. Menurunnya motivasi karena kegagalan

  3. Menemui banyak hambatan/kesulitan

  4. Minimnya pengetahuan

Bagaimana jika kejenuhan itu terjadi dalam jangka waktu yang relatif lama? woww, tentunya akan sangat merugikan kita. Dengan susah payah kita bangun usaha yang pada akhirnya hancur karena rasa jenuh yang terlalu lama. Yang terpenting bagaimana kita memenej rasa jenuh tersebut menjadi bumerang bagi diri kita. Terkadang kita perlu "merefresh" hati dan pikiran kita, kembali pada komitmen awal dan tetap fokus kedepan jalan masih panjang membentang.

Beberapa hal yang diperlukan untuk meminimalisir kejenuhan antara lain:

  1. Lakukan variasi-variasi dalam bidang pekerjaan yang kita tekuni

  2. Kegagalan bukan akhir segalanya. Seperti Thomas Alfa Edison pernah ditanya seseorang ketika ia menemukan bola lampu listrik. "Apakah anda telah gagal 1000 kali?". "Tidak, saya tidak gagal, bola lampu ditemukan dalam 1000 langkah!.

  3. Tetap fokus pada komitmen awal. Segala hambatan dan kesulitan justru akan membuat kita semakin matang dalam berfikir dan bertindak. Setiap kita mampu melewati 1 hambatan dan kesulitan berarti kita telah naik tingkat menuju keberhasilan.

  4. Memperluas pengetahuan melalui media apa saja. Pengetahuan tidak hanya kita dapat dari bangku sekolah tetapi juga dapat datang dari mana saja. Dengan kita membuka diri, berbagi pengalaman dengan orang lain akan memperkaya khasanah pengetahuan. Bila diibaratkan jangan menjadi "katak dalam tempurung".

Nah, apakah anda pernah mengalami kejenuhan? dan bagaiman anda mengatasinya? semoga tulisan saya bermanfaat. Amien.

Jumat, 23 Maret 2012

Tiap bangsa sudah tentu punya tatanan kaidah baku dalam pemakaiannya. Namun akhir-akhir ini banyak kita jumpai bahasa "aneh" di kalangan remaja kita yang tentunya tidak sesuai dengan kaidah yang ada. Mereka menyebutnya sebagai bahasa gaul. Berbagai pendapat muncul terkait bahasa gaul ini, sebagian kalangan menilai pemakaian bahasa gaul ini merusak tatanan kaidah bahasa baku dan merasa prihatin dengan maraknya bahasa gaul dalam komunikasi remaja saat ini.

Kecenderungan pemakaian bahasa gaul karena arus media dan informasi yang begitu pesatnya menjadikan bahasa gaul dapat didengar oleh siapa saja dan parahnya lagi kemudian diikuti sebagian besar remaja saat ini. Bahasa gaul yang semula hanya dipakai untuk komunitas tertentu kemudian mengglobal pada semua kalangan tidak hanya remaja tetapi pemakaiannya sudah merambah pada anak-anak dan orang dewasa.

Menurut Amran Halim bahwa pemakaian bahasa dan kebiasaan berbahasa yang timbul dari kurang mahirnya orang berbahasa atau kurangnya pengetahuan pemakai bahasa tentang latar belakang dan lika-liku bahasa. Pemakaian bahasa gaul sudah tentu merusak tatanan bahasa baku. Sebab itulah banyak remaja saat ini (remaja usia sekolah) menjadi kurang respek lagi terhadap tatanan bahasa baku sehingga dapat berimbas pada jiwa nasionalisme remaja seperti yang tertuang dalam sumpah pemuda yang mengaku berbahasa satu bahasa Indonesia.

Sebagian kalangan menganggap fenomena bahasa gaul merupakan fenomena wajar sesuai kondisi akhir-akhir ini. Remaja saat ini dapat secara bebas mengakses dan mendapat informasi dari arus media yang sangat pesat. Tetapi yang terpenting bisa membedakan mana yang baku dan mana yang bukan. Dalam pemakaiannya pun harus disesuaikan dengan tempatnya. Tidaklah mungkin kita memakai bahasa gaul di tempat dan situasi yang resmi. Yang terpenting adalah kita mampu mengarahkan anak untuk memakai bahasa baku. Kekhawatiran yang berlebihan akan mengganggu perkembangan anak didik.

Sabtu, 17 Maret 2012

Model Implementasi Pendidikan Karakter

Pengimplementasian pendidikan karakter terdapat empat model penerapan:

1. Model Otonomi
Menempatkan pendidikan karakter sebagai mata pelajaran tersendiri.

2. Model Integrasi
Menempatkan nilai pendidikan karakter terintegrasi dengan setiap mata pelajaran.

3. Model Ekstrakurikuler
Menempatkan pendidikan karakter di luar jam pelajaran

4. Model Kolaborasi
Menggabungkan ketiga model tersebut dalam seluruh kegiatan sekolah.

Menurut Roger A Hart bahwa implementasi dikelas salah satu wadah untuk pengembangan karakter atau sikap anak tentang demokrasi adalah melalui organisasi. Dengan berorganisasi, siswa akan secara aktif terlibat langsung dan melalui praktek belajar dan mengimplementasikan demokrasi.
Peran guru disini tidak hanya sebagai pengajar saja tetapi sekaligus sebagai Character Educator. Seorang guru haruslah konsisten dalam pengajaran pendidikan karakter, tidak sekedar mengajar (apa yang ia katakan) melainkan nilai-nilai dan karakter itu juga harus tertanam dalam dalam diri guru terlebih dahulu. Stakeholder yang ada di sekolah harus mempunyai karakter dan nilai-nilai yang akan memberikan gambaran secara nyata pada siswa bagaimana contoh etika, norma dan budi pekerti itu seperti apa.
Siswa pada hakikatnya akan meniru (imitate) atas apa yang dilihatnya. Guru dan stakeholder sekolah dituntut untuk dapat menjadi tuntunan bagi siswanya.

Jumat, 16 Maret 2012

PEMBELAJARAN MENGGUNAKAN MODEL LITERASI

International Literacy Institute (2002) mendefinisikan bahwa literasi merupakan sebuah keahlian dalam jangkauan yang relatif, untuk membaca, menulis, berkomunikasi dan berfikir secara kritis. Literasi dapat pula diartikan melek aksara. Dengan demikian literasi mempunyai arti yang sangat luas, melek teknologi, melek politik, melek social dan budaya, berpikiran kritis dan jauh kedepan serta peka terhadap lingkungan sekitar.
Sebagian besar guru-guru di Indonesia masih menekankan aspek kemampuan kognitif dalam proses pembelajaran sehingga yang tercipta adalah sebuah angka-angka. Siswa cenderung di tekan oleh guru untuk hanya sekedar menghafal uraian angka, fakta-fakta yang telah di sediakan guru. Akibatnya proses pembelajaran akan sangat membosankan. Dalam konteks ini sosok seorang guru menjadi satu-satunya sumber ilmu bagi para siswa atau yang lebih dikenal dengan paradigma teacher centered. Ruang lingkup kreatifitas siswa sangat dibatasi oleh monopoli guru. Kreatifitas siswa untuk menemukan ide-ide segar tidak tersalurkan. Aspek afektif dan psikomotor siswa menjadi terhambat hanya karena adanya paradigma tersebut. Sudah seharusnya paradigma teacher centered dirubah menjadi student centered. Dimana seorang guru member ruang lingkup yang cukup bagi siswanya untuk berkreatifitas dan berinteraksi dengan lingkunagan sekitar. Pada diri siswa akan terbangun pemahaman, pengalaman, ketrampilan dan perilaku yang menunjukkan output dari proses pembelajaran yang telah dilaluinya.
Urgensi dari penciptaan kegiatan belajar ini meliputi 3 aspek sekaligus yaitu aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotor.
Aspek kognitif, berkaitan dengan penemuan, pemahaman, pemilihan dan penginformasian untuk kemudian di internalisasi dalam memori otak. Ini akan memberikan pengalaman-pengalaman kognitif yang akan berakibat pula pada kualitas intelektualnya. Sehingga guru dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi memperoleh nilai validitas yang benar-benar dapat diuji kebenarannya (oleh siapapun).
Aspek afektif, pemberian ruang lingkup yang cukup, kesempatan untuk berinteraksi secara luas dengan berbagai kalangan baik secara social ekonomi akan berdamapak pada pengalaman psikologis siswa. Keberanian untuk bersosialisai akan tertata dengan baik karena bersosialisasi dengan lingkungan sekitar memiliki perbedaan  nilai yang cukup signifikan dibandingkan dengan lingkungan akademik.
Aspek psikomotor, sangat berkaitan erat dengan ketrampilan siswa. Aspek kognitif harus diterapkan secara nyata untuk memperoleh pemantapan pada hasil belajar. Ketrampilan tidak datang dengan sendirinya dan harus melalui proses sedemikian rupa. Simpul-simpul otak akan bekerja dan saling terkait satu sama lain unutk membentuk suatu korelasi yang dinamis antara pemahaman dengan penerapannya secara langsung sebagai wujud manifestasi dari aspek kognitif.
        Bagaimanakah dengan Indonesia? Sudahkah generasi-generasi literat saat ini sudah tersedia?
Suatu bangsa yang ingin maju wajib menciptakan generasi-generasi literat. Ada sebuah anggapan bahwa bangsa yang mempunyai generasi literat tingkat rendah berbanding lurus dengan tingginya tingkat kemiskinan, kebodohan, pengangguran dan drop-out sekolah. Bangsa yang ingin maju dan bangkit dari keterpurukan harus menciptakan dan menyiapkan generasi literat agar setidaknya sejajar dengan bangsa lain dan mampu bersaing di era globalisasi. Mencipatakan generasi literat merupakan jembatan emas menuju masyarakat yang adil dan makmur serta menjadi generasi yang kritis dan peduli. Kritis terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi dengan tidak bereaksi secara emosional melainkan dengan cara-cara yang santun sesuai kaidah ketimuran. Peduli terhadap kondisi lingkungan sekitar melalui kepekaan hati.
       Secara umum siswa dikondisikan untuk bagaimana harusnya belajar (Learning how to learn). Pembekalan ketrampilan ini berupa mendalami informasi, menyajikannya dalam bentuk tulisan untuk kemudian memberikan informasi secara lisan maupun tertulis. Dengan demikian secara tidak langsung anak didik dilatih mengambil kesimpulan atas apa yang ia pahami. Melalui model literasi diharapkan siswa mampu menjadi pembelajar seumur hidup (Independent Learner) yang mana semua proses dan aspek-aspek terkait dilibatkan serta tak adanya ketergantungan pada pendidik/guru.

Senin, 12 Maret 2012


SEJARAH PERKEMBANGAN TUNALARAS

* Sebelum Abad  XIX

Sebelum abad XIX, tunalaras sering disebut sebagai orang gila, mereka dianggap kerasukan setan. Pada abad ini, anak-anak atau orang dewasa yang menunjukkan perilaku menyimpang dihukum dengan cara yang sama seperti, ditelantarkan, disiksa, ataupun dilukai sampai berdarah. Keadaan ini berlangsung sampai akhir abad XIX.
Seorang dokter dari Perancis yang juga merupakan Psikiater pertama di dunia yaitu Phiillipe Pinel menjadi orang pertama yang mempelopori penanganan Tunalaras. Dengan pendekatan moral yang ditekankan pada perlakuan secara baik dan pembicaraan dari hati ke hati, Pinel mencoba menangani pasien dengan penyakit mental kronis akibat disekap dan disiksa di rumah sakit Bicetre.
Pada akhir tahun 1700-an sampai 1800-an Pinel dan seorang dokter Perancis,Jean More Garpard mencoba mendidik seorang anak yang bernama Victor. Itard mengajari Victor dengan ketrampilan praktis termasuk berbicara. Namun, Victor hanya mampu mengucapkan beberapa kata. Pada waktu yang bersamaan bapak Psikiater AS yaitu Doctor Benjamin Rush mempelopori pengembangan pendidikan anak Tunalaras. Rush menentang metode dalam bentuk kekerasan dan kekejaman sebagai upaya untuk mengendalikan tingkah laku. Kemudian pendekatan ini dikenal sebagai terapi moral yang sekarang banyak dipakai di tempat-tempat penampungan anak Tunalaras.
        
* Abad  XIX

    Pada abad ini istilah tunalaras mulai dikenal, muncul beberapa teori mengenai penyebab ketunalarasan, ada upaya penanganan secara sistematik dan terbitnya buku-buku tentang ketunalarasan.
   Beberapa Psikiater mulai mengidentifikasi beberapa penyebab Tunalaras yang sekarang menjadi perhatian, seperti Parkinson dan West menyebut interaksi antara kondisi emosi dengan pendidikan atau pola asuh, proteksi berlebihan (over protection), terlalu dimanja dan disiplin yang tidak konsisten. Dengan demikian lingkungan anak sangat berpengaruh terhadap munculnya perilaku ketunalarasan.
Pada abad ini, remaja yang nakal, agresif, tidak patuh atau terlantar tetapi tidak gila atau idiot mulai mendapat perhatian. Kemudian remaja dengan karakteristik seperti disebut diatas dikenal dengan penyandang Tunalaras tingkat sedang.
Wajib belajar pada abad XIX memungkinkan anak memperoleh pendidikan ataupun penanganan di sekolah. Namun dengan di terapkannya pendidikan dengan system klasikal menyulitkan bagi anak tunalaras, mereka tidak dapat secara aktif berkontribusi dalam proses pembelajaran karena beberapa factor. Akibatnya tidak sedikit dari mereka yang putus sekolah, dan menyebabkan anak-anak tunalaras kembali turun ke lingkungan aslinya dengan berbagai bentuk kenakalan dan kejahatan.

* Abad  XX
           
        
Kemajuan yang sangat pesat dalam kajian terhadap ketunalarasan terjadi pada abad XX. Berbagai layanan pendidikan bagi anak tunalaras mulai dibuka, sejak tahun 1920an klinik bagi anak-anak bermasalah dibuka diberbagai universitas dan sekolah. Dibandingkan dengan model lapangan yang diberikan oleh psikiater sebelumnya, ada tiga hal yang baru, yaitu : 1) Adanya kerjasama antar disiplin dalam penanganan anak. 2) Jenis tingkah laku yang ditangani tidak terbatas pada tingkahlaku yang parah,tetapi  juga tingkahlaku yang mengganggu guru dan orang tua. 3) Perhatian juga diberikan tingkah hubungan antar individu dan sikap orang dewasa yang mungkin berpengaruh pada anak.
          Setelah perang dunia II perhatian pada pendidikan anak tunalaras semakin besar. Pada intinya, setelah perang dunia II muncullah konsep bahwa gangguan emosi dan penyimpangan tingkahlaku merupakan katagori tersendiri dalam keluarbiasaan, lepas dari retardasimental,. Berbagai sistem layanan bagi anak-anak inipun muncul seperti klinik psikiater, kelas khusus, dan belakangan muncul setelah khusus ( residential scliol ) bagi anak tunalaras tingkat berat.